I Get Stupid for You
Content warnings: mention of alcohol, act of drinking, very graphic description of clubbing experience
Written from the viewpoint of Lucius
Begitu baca chat dari Fabian, gua langsung bangkit dari tempat tidur tanpa pikir panjang.
Udah kurang lebih 4bulan gua selalu menyediakan slot waktu kosong di weekend gua untuk standby buat Fabian yang kebiasaan selalu lari ke alkohol kalau punya masalah. Dan masalah dia selalu sama, yaitu Gregory.
Selama di perjalanan, gua cuma bisa ngelus dada tiap ketemu lampu merah. Gua selalu berusaha buat tabah sama diri sendiri karena nyatanya, sekeras apapun gua nyoba, Fabian bakal cuma sayang Gregory. Meskipun sebenarnya gua juga gak pernah nyoba untuk ngutarain apa yang sebenarnya gua rasain ke dia, sih. Karena sejujurnya gua takut soal respon dia nantinya. Buat sekarang, sekadar jadi sahabat aja udah cukup. Cukup banget.
Setahun yang lalu sewaktu ditanya Bang Theo dan Max soal sexuality, gua jawab kalau gua heterosexual. Looking back, jawaban gua itu emang sangat pathetic. Karena sejak dulu, my heart belongs to Fabian and Fabian only. Dan sebuah bentuk pertahanan diri gua adalah dengan gonta-ganti teman kencan. Dengan begitu, gak akan ada yang mencurigai kalau sebenarnya gua kepalang nyusruk ke sumur sayang sama sahabat sendiri dan gua gak bisa keluar lagi.
Kadang gua berharap kalau suatu saat gua bisa kayak Bang Theo dan Max yang saling sayang dan saling dukung. They are perfect for one another. Dan mereka berada di posisi yang convenient. Bang Theo anak pertama dan punya adek, sementara Maximus anak kedua. Hubungan mereka gak terlalu jadi masalah buat redaksi, sementara gua dan Fabian, kalau pun bisa, akan complicated. Begitu juga Fabian dan Gregory.
Gua dan Gregory sama-sama anak tunggal dan Fabian adalah anak pertama. Kita bertiga adalah harapan ekonomi keluarga. Inilah alasan kenapa Gregory, sesayang apapun sama Fabian, gak akan berani untuk membuat sacrifice sebesar itu. His family depends on him.
Kadang gua daydream berharap hubungan gua gak serumit ini dan seringnya berharap supaya Fabian bisa sayang sama gua kayak gua sayang ke dia. Sadly, mimpi di siang hari bolong gak bikin semuanya jadi lebih mudah.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian gua sampai di Dragonfly dan langsung nyapa pegawai yang jaga di depan karena udah kenal sama gua. Begitu masuk, gua menemukan Fabian yang udah gak sadarkan diri di sofa. Nampaknya dia juga belum bayar billnya yang bikin gua geleng-geleng kepala. Minimum purchase buat duduk di sofa tuh empat setengah juta. Tapi ngeliat cuma ada 2 botol Jameson yang bahkan satunya masih utuh dan berarti dia baru order sekitar satu setengah juta. Damn.
Seandainya gua nggak sesayang itu sama dia, kayaknya ogah banget gua bela-belain beli alkohol yang gak gua butuh.
“Saya tambah Macallan 2 ya buat ditake away aja, thanks,” Kata gua ke waiter di sana.
Gua duduk di samping Fabian yang tidur di sofa dengan handphonenya di bawah telinga. Sambungan telepon gua dan dia belum mati tapi dia keburu pass out bahkan sebelum gua buka pintu mobil pas mau berangkat. Gua menghela napas sebelum beresin anak-anak rambut dia yang berantakan.
Kalau dia tidur, dia kelihatan sangat tenang kayak gak ada masalah di hidupnya. Gua usap pipinya lembut dan bantu dia untuk duduk, nyandar ke gua.
“Bi, besok-besok kalau perlu lupain masalah, dateng ke gua, ya? I’m just one call away,” Kata gua yang tentunya gak dia dengar karena dia tidur. “Dan kalau bisa, besok-besok, lu sayangnya sama gua aja, ya?”