Kamu Pernah Jadi Ratu
Hari sudah mulai gelap akibat langit yang mendung ketika aku meninggalkan kantor tanpa supir. Tidak ada yang tahu ke mana aku pergi, sebab aku memang tidak berniat memberitahu siapa pun tentang rencanaku petang ini. Jika kuberitahu, yang ada semua orang akan melarangku datang. Tapi aku merasa perlu, atau akan selamanya ada lubang di hatiku yang menganga walaupun kecil ukurannya.
Sambutan ketika aku datang berupa senyum hangat dari petugas. Sebelumnya aku sudah menelepon dan membuat janji kunjungan. Menurut keterangan petugas yang menyambutku itu, dia belum pernah dikunjungi siapapun selama berada di sini dan aku meremat tas yang kubawa ketika mendengarnya. Lalu, aku dipersilakan duduk di kursi lipat yang terbuat dari besi dengan sebuah meja kayu di hadapanku tempatku meletakkan barang bawaanku. Aku diminta menunggu sebentar selagi petugas itu ke dalam.
“Ngapain di sini?” adalah kalimat pertanyaan yang menyambutku sewaktu sosoknya melihatku yang sedang duduk. Sorot matanya tajam, penuh amarah dan dendam. Aku mewajarkan seluruh kebencian yang dia punya terhadapku. Sebab akulah yang membuatnya mendekam di balik jeruji besi sembilan bulan lalu.
Angeline Tania Wijaya tidak lagi terlihat seperti dirinya yang kukencani beberapa bulan lalu. Dia terlihat jauh lebih kurus ketimbang terakhir kali aku melihatnya. Rambut panjangnya tidak tertata dan dibiarkan kusut mengembang — tidak ada lagi salon mingguan baginya. Dia masih terlihat cantik meskipun tidak mengenakan riasan mata yang biasanya menjadi ciri khasnya. Warna oranye baju tahanan sama sekali bukan warna idealnya, tapi dia masih terlihat menawan.
Perempuan itu duduk di hadapanku dengan wajah masam. Alisnya bertaut dengan dahi yang mengerut. Aku berani bertaruh dia sedang membuat skenario-skenario pembalasan dendam dalam kepalanya sekarang. Mungkin, jika kedua tangannya tidak diborgol, dia sudah akan mencekikku tanpa ampun sekarang.
“How are you doing, Ji?” tanyaku berusaha membuka obrolan yang jelas-jelas enggan dia tanggapi. “I am here to see how you are doing.”
Angeline mendengus, “no, you are here trying to see how miserable I am. Dan asal lo tau ya, Theo, gue di sini capek. Capek fisik dan capek mental. Belum lagi keluarga gue semuanya dipenjara. Mami gue, papi gue. Ini semua gara-gara lo!”
“I know,” tukasku, tersenyum tipis karena rasa bersalah yang menggerogoti. “I am not here to add to your misery, Ji. Aku ke sini karena aku mau kasih tahu kamu soal your pension plan.”
Satu alis Angeline terangkat, “what pension plan?”
“I can’t reduce your parents’ nor your sentence, Ji. Tapi untuk nebus rasa bersalahku karena bikin kamu kehilangan semuanya, I have given you two percent of my company’s shares. I also have purchased an apartment in Green Pramuka City for you to settle in after you are out of here. Untuk biaya hidup sehari-hari, I am pretty sure the dividend would be enough to fund your family’s life,” jawabku sembari memerhatikan perubahan ekspresi wajahnya.
Aku melihat bagaimana dia mulai berubah cerah. Seolah aku baru saja menyirami ladang harapannya yang semula mati. Dia memang berusaha untuk menjaga ekspresinya agar tetap datar seolah kalimatku barusan tidak berefek apa-apa padanya. Tapi aku pernah menjadi orang yang mendampinginya hampir setiap hari dan aku pernah menyayanginya sehingga aku tahu kapan dia merasa bahagia.
Angeline berdeham, “you’re not lying, are you?”
Gelengan kepalaku menjadi jawaban sebelum aku menyodorkan tas yang berisi berkas-berkas notaris, “all you need is here, Ji. It’s yours.”
“Okay,” ujarnya sebelum bangkit dari duduknya dan mengambil tas tersebut. “We’re done here.”
Lalu dia berbalik dan melangkah pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Rupanya jeruji besi tidak melunakkan egonya yang masih lebih tinggi dari Empire State Building. Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh dan ketika dia sudah tidak berada dalam jarak pandangku lagi, aku menghela napas panjang. Beban berat yang tadinya kupikul di bahu kini hilang semuanya.
Aku memang tidak seharusnya melakukan itu semua karena Angeline pantas berada di sini atas semua yang dia perbuat atasku, atas orang-orang yang dirugikan keluarganya. Tapi nyatanya aku tidak bisa tidak merasa bertanggung jawab atasnya. Biar bagaimana pun, dulu Angeline pernah jadi ratu di hidupku. Dia dulu prioritas utamaku yang namanya aku elu-elukan walaupun pada kenyataannya, aku tidak pernah ada daftar prioritasnya.
Aku sudah menutup buku dengannya bahkan sebelum hubungan kami resmi kandas. Apa yang kulakukan hari ini adalah bentuk penyembuhan diriku agar tidak melulu teringat betapa banyak kata-kata tidak pantas yang keluarganya terima di Internet karena yang kulakukan. Biarkan aku menutup lubang yang tadinya menganga. Sebab ke depannya, aku tidak yakin masih bisa selembut ini pada siapa pun lagi.