Maximus, The Youngest (Bahasa Indonesia)
Namanya adalah Maximus Mahawira Tanudjaya, anak terakhir dari keluarga Tanudjayas.
Terlahir di keluarga kaya yang memiliki reputasi baik, Maximus selalu berpikir bahwa hidup itu mudah. Tidak seperti rumah keluarga konglomerat lainnya, ia dibesarkan dengan banyak cinta dan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Ia selalu dekat dengan keduanya. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh teman-temannya.
Kebanyakan orang berpikir bahwa memiliki segalanya mungkin membuatnya manja. Meskipun hal itu setengah benar, ia tidak benar-benar manja. Menjadi anak terakhir, membuatnya secara otomatis terbebas dari banyak kewajiban, seperti mengelola bisnis keluarga, misalnya. Itu artinya, Maximus harus memilih karir lainnya karena ia tidak akan menerima sepeser pun warisan dari keluarganya. Hal ini adalah tradisi dari keluarga Tanudjaya. Hal yang mungkin bisa dilakukan keluarganya adalah memberikannya posisi di perusahaan, tetapi ia tidak akan dipercaya untuk mengelolanya karena hal itu merupakan tugas dari kakak laki-lakinya.
Maximus tidak pernah merasa terganggu dengan hal ini karena ia memang tidak memiliki minat untuk mengemban beban sebegitu banyak. Justru, ia merasa sedikit berterima kasih karena ia melihat betapa sibuk teman-temannya yang berlari ke sana ke mari hanya untuk perusahaan keluarga mereka. Setidaknya ia sedikit lebih bebas.
Meskipun hal ini akan berbanding terbalik jika hubungan dengan kekasihnya, Katerina Antareksa, berhasil.
Katerina adalah anak semata wayang dan keluarganya adalah pemilik salah satu penyedia jarngan terbesar di negara ini. Menjadi anak satu-satunya dan seorang perempuan, adalah sebuah tradisi bagi keluarganya untuk memercayakan bisnisnya pada menantu. Dalam kasus ini, pada Maximus. Dan sejujurnya ia tidak pernah mempersiapkan apapun untuk itu. Baginya, tradisi patriarki ini teramat kuno. Ia percaya pada kesetaraan gender dan perempuan seharusnya diberikan hak yang sama dengan laki-laki karena data historis pun menunjukkan bahwa perempuan bisa sesukses (atau bahkan lebih sukses dari) laki-laki.
“Mom kayaknya mau buka kafe baru,” Mulai Ibunya seraya meneguk earl grey teanya. Kedua matanya menatap tepat pada Max dan kini Max nampak bingung — terbukti dengan kernyitan di dahinya. Menyadari bahwa putranya memiliki pertanyaan, wanita paruh baya itu tersenyum dan berkata, “Mom mau kamu yang jalanin kafenya, sayang.”
Max meneguk salivanya gugup. Menjalankan bisnis bukanlah passionnya dan Ibunya paham akan itu. Ia pun tertawa kering, mencoba untuk mendorong rasa khawatirnya. Melihat bahwa Ibunya tidak ikut tertawa bersamanya, ia langsung tahu bahwa Ibunya sedang serius, “Gak mungkin. You are NOT seriously thinking that I would run a business.”
Vivian Sandika Mandala-Tanudjaya, Ibu dari Max, menggeleng atas pernyataan putranya yang dramatis. Beliau tetap terlihat tenang sembari kembali meminum tehnya yang hampir habis. Setelah meletakkan gelasnya kembali, Beliau melipat tangannya di depan dada, “Mom tahu kamu gak suka di bidang ini, sayang, Mom paham. Tapi Mom juga tahu kalau you have the skillset to do so. Terbukti kan waktu kamu bantu Dad research buat gamenya beberapa bulan lalu,” Ibunya berhenti sebentar untuk memperhatikan perubahan ekspresi pada putranya, “Mom tahu, kamu mampu kok. This is my legacy for you.”
Pria di sebelah Ibunya, Michael Linggar Tanudjaya — Ayah Max, yang sedari tadi diam akhirnya pun angkat bicara, “Itu benar. I remember how eager you were in assisting us. Dad paham kamu gak passionate di bidang ini, tapi kamu bisa anggap ini sebagai bisnis sampingan atau apapun itu sampai kamu tahu apa yang kamu suka,” Ayahnya mengulurkan tangannya untuk mengusap punggung tangan Max, “This is the least we can do for you, son.”
Jadi Maximus mengangguk setuju.
Well, kini ia memiliki sesuatu.