You and I were Never Meant for Each Other
Content warnings: implied mention and effect of drugs
Tempat penginapan itu berubah menjadi hening sebab pestanya telah usai dua jam yang lalu. Kebanyakan orang sudah kembali ke kamar masing-masing sementara Lucius dan Fabian justru berada di area luar untuk menunggu orang yang paling penting pada hari ini; Gregory. Sudah sekitar tujuh menit keduanya menunggu ketika pada akhirnya sosok yang mereka nanti pun tiba. Laki-laki itu dibalut jaket hoodie hitam serta celana pendek selutut berwarna coklat. Sosok Gregory terlihat kontras dengan suasana penginapan yang rapi sebab rambut laki-laki itu terlihat berantakan, make upnya sudah tidak beraturan, serta ekspresinya terlihat sangat gugup.
Lucius dapat dengan mudah menyadari bagaimana tubuh Fabian menegang ketika mereka mulai melihat Gregory bahkan dari kejauhan. Malam itu terasa seperti satu dari malam-malam lainnya yang tidak ingin Lucius hadiri tapi ia memang payah dalam hal tolak-menolak ketika hal tersebut menyangkut Fabian. Ia merasa dirinya seperti anjing yang sangat loyal pada tuannya dan meskipun dari waktu ke waktu permintaan Fabian menyakitinya, ia tidak pernah bisa menolaknya. Rasanya, Fabian sudah seperti candunya sendiri. Meskipun ia paham betul betapa bahayanya, ia sudah terlanjur kecanduan dan tidak ada yang bisa menghentikan candunya ini. Ia seperti burung dalam sangkar; bebas terbang, namun tidak bisa ke mana-mana.
“Udah nunggu lama?” Tanya Gregory begitu berdiri di hadapan keduanya.
Fabian menggeleng. Jemarinya dengan perlahan menyusup ke sela-sela jemari Lucius, mencoba untuk menggenggam sosok di sampingnya ini sebab ia perlu merasa aman. Dan tentu saja Lucius menyambut hal tersebut dengan senang hati.
“Karena gue gak bisa ninggalin istri gue lama-lama, jadi gue bakal langsung aja,” Ujar Gregory. Tatapannya begitu tegas dan penuh kepastian menatap Fabian yang membuat laki-laki yang bertubuh lebih kecil itu merinding.
“Fabian, you know I loved you. I loved you so much that I was suffocated every second I was not with you. Tapi masa-masa itu udah habis. Kita udah pisah, yet you never took it well. Gue paham kalau lo benci sama gue,” Gregory tersenyum sendu pada dirinya sendiri. “And I am terribly sorry that we had to end things that way. The only thing I wished for was to be able to be with you. Tapi di hidup gue, semuanya adalah soal pilih-memilih. Kalau gue pilih lo, artinya gue milih kehancuran buat keluarga gue sendiri. Gue harus give up satu-satunya hal yang dibangun oleh kakek buyut gue dari nol — peninggalan keluarga yang cuma punya satu penerus, yaitu gue. Tapi kalau gue milih keluarga gue, artinya gue harus ngerelain lo. It was a sacrifice I had to make and you were the one that I hurt the most. Gue minta maaf atas perlakuan gue. Nyakitin lo itu gak pernah ada di daftar gue, Fabian. Karena gue cuma mau lo bahagia.”
Tiap kalimat yang diucapkan oleh Gregory, Fabian mengeratkan genggamannya pada tangan Lucius. Bagi Fabian, penjelasan Gregory terasa seperti pisau yang terhunus tepat di jantung Fabian. Tiap kalimatnya menyakitinya lebih dibandingkan kalimat sebelumnya. Dan jika jantungnya bisa berteriak, mungkin organnya itu sudah berteriak sekerasnya hingga mengakibatkan tuli.
Namun, satu-satunya yang mampu keluar dari mulutnya ialah, “Gapapa, Greg. Gue ngerti. We were never meant for each other anyway.”
Gregory mengangguk begitu mendengar respon Fabian. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Lucius yang sedari tadi mendengarkan obrolan mereka dengan seksama. Tatapannya melembut seraya berkata, “Jagain dia ya, Cy. He means a lot to me.”
“Iya. Tanpa perlu lu kasih tahu juga, gua pasti jagain dia,” Jawab Lucius tanpa keraguan dalam suaranya.
“Greg,” Panggil Fabian yang membuat laki-laki itu menoleh padanya. “Gue punya satu pertanyaan sebelum kita betulan ngakhirin ini semua.”
“Tanya aja,” Jawab Gregory secara kasual.
Terdapat keheningan yang memekakkan di antara mereka. Satu-satunya suara yang menemani ialah suara jangkrik dan beberapa serangga lainnya. Atmosfer di antara mereka kemudian berubah dingin dari sebelumnya. Namun, suasana ini justru tidak sebanding dengan betapa menyeramkannya pertanyaan yang terlontar dari mulut Fabian.
“Jillian. Do you love her?”
Jika ini adalah film dramatis tahun 80-an, mungkin akan muncul petir secara tiba-tiba di belakang Gregory sebagai latar. Pertanyaan tersebut merupakan satu-satunya pertanyaan yang ia hindari tanpa perlu berupaya banyak. Tapi malam ini, ia tidak lagi bisa menghindarinya.
Maka, ia menjawabnya dengan jujur, “I fell in love with her when we went to Milan in January. Sewaktu gue ngucapin janji suci tadi di altar, gue memang sungguhan. I want to cherish her the way she deserves to be. Jadi, gue harap lo juga bisa move on.”
Perlu kerja sama tiap-tiap atom di tubuh Fabian untuk tidak runtuh seketika kala mendengarnya. Ia sudah hampir bergetar ketika jemari Lucius dengan lembutnya mengusap permukaan kulitnya. Gestur tersebut, anehnya, dapat menenangkannya dan membuatnya merasa nyaman. Maka, ia menghela napas panjang sebelum memaksakan sebuah senyum simpul.
“I am happy for you. Back to being best friends, then?” Ujar Fabian di sela suaranya yang bergetar serta tawanya yang dipaksakan.
Gregory mengangguk, “Back to being best friends it is.”
Hal yang tidak Gregory tahu ialah bagaimana Lucius memerlukan tiga buah mangkuk besar es krim Baskin’ Robbins untuk membuat Fabian berhenti menangis keesokan harinya ketika ia perlu merengkuh tubuh laki-laki itu dalam peluknya yang terjaga semalam suntuk. Dalam dekapnya, Fabian menangis sembari menggenggam erat kaus yang Fabian kenakan selagi menyisakan jejak air matanya di kain yang sama pula. Dan dengan sabar dan rasa sayang, Lucius berusaha untuk mengusap sosok bertubuh lebih kecil itu hingga ia lelah dan tertidur.
Namun sementara ia terjaga, ia tidak bisa tidak memikirkan soal yang tengah ia lakukan — apakah segalanya, semua yang ia lakukan sepadan?